Pertempuran Margarana dipicu pada tanggal 2 dan 3 Maret 1946, saat itu lebih kurang 2.000 orang tentara Belanda mendarat di Pulau Bali. Mereka diikuti oleh tokoh-tokoh Bali yang pro terhadap Belanda. Ketika Belanda mendarat di Pulau Bali, pimpinan Laskar Bali Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, sedang menghadap ke Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta. Kedatangannya ke Yogyakarta bertujuan membicarakan duduk kasus training Resimen Sunda Kecil dan cara-cara untuk menghadapi Belanda.
Ketika kembali dari Yogyakarta, I Gusti Ngurah Rai menemukan pasukannya dalam keadaan porak-poranda tanggapan serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda. I Gusti Ngurah Rai berusaha untuk mengumpulkan kembali pasukannya yang telah porak-poranda. Sementara itu, Belanda terus membujuk Ngurah Rai biar mau bekerja sama dengan pihak Belanda. Namun seruan itu ditolaknya, penolakan itu terlihat dari isi surat akibatnya kepada Belanda. Di antaranya Ngurah Rai menyatakan bahwa: "Bali bukan tempat untuk negosiasi dan negosiasi merupakan hak dari pemimpin kami di pusat".
Di samping itu, Ngurah Rai, juga menyatakan bahwa: "Pulau Bali bergolak alasannya yaitu kedata pasukan Belanda. Dengan demikian, apabila ingin Pulau Bali dan damai, Belanda harus angkat kaki dari Pulau Bali".
Ketika Ngurah Rai berhasil menghimpun dan mempersatukan ker pasukannya, pada tanggal l 8 November 1946 diIakukan serangan terhadap markas Belanda yang ada di kota Tabanan. Markas Belanda digempur habis-habisan. Dalam pertempuran itu, pasukan Ngurah Rai meraih kemenangan yang gemilang dan satu Detasemen Polisi Belanda lengkap dengan senjatanya menyerah. Setelah itu pasukan mundur ke arau utara kota Tabanan dan memusatkan usaha di desa Margarana.
Akibat kekalahan tersebut pihak Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya termasuk pesawat tempur untuk menyerang kawasan Margarana pada tanggal 20 November 1946. Terjadilah pertempuran yang dahsyat, dalam pertempuran tersebut Ngurah Rai menyerukan perang puputan (perang habis-habisan). Namun sayang pada bencana tersebut I Gusti Ngurah Rai dan pasukan gugur di medan perang. Pertempuan itu kini lebih dikenal dengan perang puputan yang diperingati tanggal 20 November setiap tahunnya diperingati sebagai hari Pahlawan Margarana oleh rakyat Bali.
Ketika kembali dari Yogyakarta, I Gusti Ngurah Rai menemukan pasukannya dalam keadaan porak-poranda tanggapan serangan yang dilakukan oleh pasukan Belanda. I Gusti Ngurah Rai berusaha untuk mengumpulkan kembali pasukannya yang telah porak-poranda. Sementara itu, Belanda terus membujuk Ngurah Rai biar mau bekerja sama dengan pihak Belanda. Namun seruan itu ditolaknya, penolakan itu terlihat dari isi surat akibatnya kepada Belanda. Di antaranya Ngurah Rai menyatakan bahwa: "Bali bukan tempat untuk negosiasi dan negosiasi merupakan hak dari pemimpin kami di pusat".
Awal Mula Pertempuran Puputan Margarana
Di samping itu, Ngurah Rai, juga menyatakan bahwa: "Pulau Bali bergolak alasannya yaitu kedata pasukan Belanda. Dengan demikian, apabila ingin Pulau Bali dan damai, Belanda harus angkat kaki dari Pulau Bali".
Ketika Ngurah Rai berhasil menghimpun dan mempersatukan ker pasukannya, pada tanggal l 8 November 1946 diIakukan serangan terhadap markas Belanda yang ada di kota Tabanan. Markas Belanda digempur habis-habisan. Dalam pertempuran itu, pasukan Ngurah Rai meraih kemenangan yang gemilang dan satu Detasemen Polisi Belanda lengkap dengan senjatanya menyerah. Setelah itu pasukan mundur ke arau utara kota Tabanan dan memusatkan usaha di desa Margarana.
Akibat kekalahan tersebut pihak Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya termasuk pesawat tempur untuk menyerang kawasan Margarana pada tanggal 20 November 1946. Terjadilah pertempuran yang dahsyat, dalam pertempuran tersebut Ngurah Rai menyerukan perang puputan (perang habis-habisan). Namun sayang pada bencana tersebut I Gusti Ngurah Rai dan pasukan gugur di medan perang. Pertempuan itu kini lebih dikenal dengan perang puputan yang diperingati tanggal 20 November setiap tahunnya diperingati sebagai hari Pahlawan Margarana oleh rakyat Bali.
